Kamis, 26 September 2013

Memahami Tawassul

Pembaca muslim/muslimah yang semoga dirahmati Allah, tidak asing lagi bagi kita pembahasan seputar tawassul. Tawassul adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan ketaatan kepadaNya, beribadah kepadaNya, mengikuti petunjuk RasulNya dan mengamalkan seluruh amalan yang dicintai dan di ridhaiNya, lebih jelasnya adalah kita melakukan suatu ibadah dengan maksud mendapatkan keridhaan Allah dan surgaNya. Tentu saja ini merupakan bentuk ibadah kepada Allah yang sering kali kita lakukan dalam kehidupan kita namun perlu diketahui bahwa tidak sedikit pula orang yang terjerumus kedalam tawassul yang itu sama sekali tidak di syari’atkan di dalam agama Islam. Ada sebagian orang yang mentakwil hadits-hadits tentang tawassul dengan berdasarkan akal pemikiran dan hawa nafsu belaka. Sehingga muncullah berbagai bentuk tawassul yang sama sekali tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam bahkan merupakan kesyirikan yang besar.
Untuk itulah di sini kita akan membahas tentang berbagai macam bentuk tawassul yang sudah tersebar bahkan di lingkungan sekitar kita. Ahlussunnah wal jama’ah membolehkan tawassul yang syar’i di mana ini merupakan suatu bentuk ibadah kepada Allah yang sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam. Namun jelas ahlussunnah juga melarang dari berbagai bentuk tawassul yang bid’ah apalagi syirik yang ini pun juga sudah tersebar dan menjadi kebiasan bagi sebagian orang. Mereka menganggap dirinya sedang beribadah dan memohon ridhaNya namun ternyata sebaliknya, murka Allah lah baginya. Wal iyyadzu billah.
Dengan itu maka kita akan mulai mengkaji apa sebenarnya makna tawassul itu dan bagaimana yang disyari’atkan serta yang bagaimana yang terlarang. Tentunya agar kita tidak terjerumus ke dalamnya tanpa kita sadari karena kejahilan pada diri kita.
Pengertian tawassul
Tawassul adalah mengambil sarana/wasilah agar do’a atau ibadahnya dapat lebih diterima dan dikabulkan. Al-wasilah menurut bahasa berarti segala hal yang dapat menyampaikan dan mendekatkan kepada sesuatu. Bentuk jamaknya adalah wasaa-il (An-Nihayah fil Gharibil Hadiit wal Atsar :v/185 Ibnul Atsir). Sedang menurut istilah syari’at, al wasilah yang diperintahkan dalam alqur’an adalah segala hal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah Ta’ala, yaitu berupa amal ketaatan yang disyariatkan.(Tafsir ath-Thabari IV/567 dan Tafsir Ibnu Katsir III/103)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan dii kepadaNya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalanNya agar kamu beruntung.”(QS.Al-Maidah: 35)
Mengenai ayat di atas Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhu berkata, ”Makna wasilah dalam ayat tersebut adalah al-qurbah (peribadatan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah).” Demikian pula yang diriwayatkan dari Mujahid, Ibnu Wa’il, al-Hasan, ‘Abdullah bin Katsir, as-Suddi, Ibnu Zaid, dan yang lainnya. Qatadah berkata tentang makna ayat tersebut, ”Mendekatlah kepada Allah dengan mentaatiNya dan mengerjakan amalan yang di ridhoiNya.” (Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari IV/567 dan Tafsir Ibnu Katsir III/103).
Adapun tawassul (mendekatkan diri kepada Allah dengan cara tertentu) ada tiga macam : yang sunnah, bid’ah, dan yang syirik.
Tawassul yang sunnah
Pertama: Bertawassul dengan menyebut asma’ul husna yang sesuai dengan hajatnya ketika berdo’a
Allah Ta’ala berfirman,
وَلِلّهِ الأَسْمَاء الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُواْ الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَآئِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Hanya milik Allah-lah asma’ul husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asma’ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjaan.”(QS. Al-A’raf:180).
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda dalam do’anya,
“Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan seluruh namaMu, yang Engkau menamakan diriMu dengan nama-nama tersebut, atau yang telah Engkau ajarkan kepada salah seorang hambaMu, atau yang telah Engkau turunkan dalam kitabMu, atau yang masih tersimpan di sisiMu.”(HR.Ahmad :3712)
Kedua: Bertawassul dengan sifat-sifat Allah Ta’ala
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda dalam do’anya,
“Wahai Dzat Yag Maha Hidup lagi Maha Berdiri sendiri, hanya dengan RahmatMu lah aku ber istighatsah, luruskanlah seluruh urusanku, dan janganlah Engkau serahkan aku kepada diriku sendiri walaupun sekejap mata.”(HR. An-Nasa’i, al-Bazzar dan al-Hakim)
Ketiga: Bertawassul dengan amal shalih
Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab shahih muslim, sebuah riwayat yang mengisahkan tentang tiga orang yang terperangkap dalam gua. Lalu masing-masing bertawassul dengan amal shalih mereka. Orang pertama bertawassul dengan amal shalihnya berupa memelihara hak buruh. Orang ke dua bertawassul dengan baktinya kepada kedua orang tuanya. Sedangkan orang ke tiga bertawassul dengan takutnya kepada Allah Ta’ala, sehingga menggagalkan perbuatan keji yang hendak dia lakukan. Akhirnya Allah Ta’ala membukakan pintu gua itu dari batu besar yang menghaanginya, hingga mereka bertigapun akhirnya selamat. (HR.Muslim 7125)
Keempat: Bertawassul dengan meminta do’anya orang shalih yang masih hidup
Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa ada seorang buta yang datang menemui Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Orang itu berkata, ”Wahai Rasulullah, berdo’alah kepada Allah agar menyembuhkanku (sehingga aku bisa melihat kembali)”. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menjawab, ”Jika Engkau menghendaki aku akan berdo’a untukmu. Dan jika engkau menghendaki, bersabar itu lebih baik bagimu”. Orang tersebut tetap berkata, ”Do’akanlah”. Lalu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menyuruhnya berwudhu secara sempurna lalu shalat dua raka’at, selanjutnya beliau menyuruhnya berdo’a dengan mengatakan, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu dan aku menghadap kepadaMu bersama dengan nabiMu, Muhammad, seorang nabi yang membawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap bersamamu kepada Tuhanku dalam hajatku ini, agar Dia memenuhi untukku. Ya Allah jadikanlah ia pelengkap bagi (do’a)ku, dan jadikanlah aku pelengkap bagi (do’a)nya.” Ia (perawi hadits) berkata, ”Laki-laki itu kemudian melakukannya, sehingga dia sembuh”. (HR.Ahmad dan Tirmidzi)
Kelima: Bertawassul dengan keimanannya kepada Allah Ta’ala
Allah Ta’ala berfirman,
رَّبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِياً يُنَادِي لِلإِيمَانِ أَنْ آمِنُواْ بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الأبْرَارِ
”Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (yaitu),’berimanlah kamu kepada Tuhanmu’. Maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti” (QS.Ali-Imran: 193)
Keenam: Bertawassul dengan ketauhidannya kepada Allah
Allah Ta’ala berfirman,
وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنجِي الْمُؤْمِنِينَ
”Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa kami tidak akan mempersemptnya (menyulitkannya). Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap,’bahwa tidak ada sesembahan (yang berhak disebah) selain Engkau, maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.’ Maka Kami telah memperkenankan do’anya dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikian Kami selamatkan orang-orang yang beriman.”(QS. Al-Anbiya: 87-88)
Tawassul yang bid’ah
Pertama: Tawassul dengan kedudukan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam atau kedudukan orang selain beliau.
Dalam shahih Bukhari terdapat hadits, “Dari Anas bin Malik, bahwasannya Umar bin Khaththab radhiyallahu ’anhu jika terjadi kekeringan, maka beliau berdo’a agar diturunkan hujan dengan bertawassul melalui perantaraan (do’a) al-‘Abbas bin Abdul Muthallib. Umar berkata,’Ya Allah dahulu kami bertawassul dengan nabi kami hingga Engkau menurunkan hujan kepada Kami. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami’. Kemudian turunlah hujan.” (HR.Bukhari 1010)
Maksud bertawassul dengan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bukanlah “Bertawassul dengan menyebut nama Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam atau dengan kedudukannya sebagaimana persangkaan sebagian orang. Akan tetapi maksudnya adalah bertawassul dengan do’a Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Oleh karena itu ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam telah wafat, para sahabat tidak bertawassul dengan nama atau keddukan Nabi, akan tetapi bertawassul dengan do’a paman Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam –yaitu ‘Abbas- yang saat itu masih hidup.
Kedua: Bertawassul dengan cara menyebutkan nama atau kemuliaan orang shalih ketika berdo’a kepada Allah Ta’ala.
Ini adalah bid’ah bahka perantara menuju kesyirikan. Contoh, ”Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan kemuliaan Syaikh Abdul Qadir Jailani, ampunilah aku.”
Ketiga: Bertawassul dengan cara beribadah kepada Allah Ta’ala di sisi kubur orang shalih
Ini merupakan bid’ah yang diada-adakan, dan bahkan merupakan perantara menuju kesyirikan.
Tawassul yang syirik
Tawassul yang syirik adalah menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai perantara dalam beribadah seperti berdo’a kepada mereka, meminta hajat, atau memohon pertolongan kepada mereka. Contoh, ”Ya Sayyid Al-Badawi, mohonlah kepada Allah untuk kami”.
Perbuatan ini merupakan syirik akbar dan dosa besar yang paling besar, meskipun mereka menamakannya dengan “tawassul”. Hukum syirik ini dilihat dari hakikatnya yaitu berdo’a kepada selain Allah.
Referensi:
Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Mutiara Faedah Kitab Tauhid, Abu Isa Abdullah bin Salam
Khudz ‘Aqidataka minal Kitabi wa Sunnatis Shahihi, Muhammad bin Jamil Zainu
Buletin At-Tauhid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar